7:01 PM

Resolusiono

Baru saja saya ditanya, waktu makan siang bersama teman saya. Makan dengan menu sederhana, di warung kecil. Namun pertanyaannya tidak sederhana…

“Apa resolusi lu buat 2010, Mas?”

Sambil mengunyah, saya perhatikan wajahnya. Dia bertanya dengan serius. Artinya saya harus menjawab dengan serius. Orang sering salah paham, kalau saya dianggap orang yang tidak pernah atau jarang serius. Padahal, sungguh mati, saya orang yang sangat serius.

Bahwasannya, hasil keseriusan itu dianggap bukan keseriusan itu soal lain. Saya yakin, haqul yakin… para komedian itu seriusnya bukan main. Betapa mereka takut betul apa yang dipentaskan tidak lucu. Garing, jayus… Saya yakin, pelawak sekaliber Jojon, Malih, dan Bolot pun masih ada rasa takut tidak lucu ketika pentas.

Dalam skala yang lebih besar, kurang apa sih seriusnya para pejabat dan wakil rakyat itu. Toh, seringkali juga hasilnya malah seperti komedi, dagelan, atau pentas main-main yang konyol? Kurang apa coba, mereka sidang sangat serius hingga terkantuk-kantuk. Kurang serius apa mereka, hingga dengan penuh keyakinan bisa berkelit bila dianggap menyelingkuhi suara rakyat atau rakyat yang mestinya disejahterakan lebih dulu.

Maka setelah saya mengunyah makanan dalam mulut saya sebanyak 33 kali. Saya jawab pertanyaan itu, walaupun dengan pertanyaan ulang, apa sih resolusi itu? Karena kadang hanya tren, tak sampai pada makna sebenarnya. Karena akhir tahun, orang banyak bilang bikin resolusi, untuk dikabarkan kepada khalayak di status fesbuk.

“Bukannya bagi orang muslim, resolusi adalah kewajiban harian…”

Kata saya, tentu saja sepotong dulu, karena saya harus segera menyuap nasi dan lauk pauknya yang sudah antri. Selain sebenarnya saya cari waktu buat mikir, jawaban apa yang pas, karena teman saya ini pintar. Lebih lengkapnya pintar dan kritis. Walaupun belum kaya… atau karena belum kaya. Biasanya sih, fasenya begitu, walaupun itu pilihan yang harus dihormati.

“Sepedengaran saya, beberapa tahun lalu, saat sedang berteduh di warung dekat masjid, kebetulan speakernya kencang betul, membuat telinga saya mau nggak mau mendengarkan…”

Sengaja kalimatnya saja panjang-panjangkan. Sekali lagi karena saya tidak pintar, maka saya terus cari akal, mengulur waktu untuk dapat jawaban untuk teman yang pintar ini.

“Nah, ustadz yang ceramah bilang, bahwa bagi setiap muslim, menjadi lebih baik adalah keharusan. Bagaimana bisa? Karena, kalau hari ini sama dengan hari kemarin sudah masuk kategori rugi. Apalagi malah mundur dari sebelumnya, wah, kalau dihitung dengan neraca bisnis, maka pasti banyak sekali di antara kita ini menjadi orang yang bangkrut…”

Teman saya tampak menggontor tenggorokannya bergelas-gelas air putih. Saya pikir, soal resolusi bukanlah hal yang terlalu istimewa. Karena bagi setiap muslim, komitmen itu paten. Namun, ya demikianlah… ketika orang lain mengemas dengan bahasa dan bungkusan yang lebih merona, warna meriah bergambar bunga, dihias pita-pita, maka seolah nggak asyik kalau tahun baru tanpa resolusi.

Beruntung dealer memberi kreditan agar saya bisa naik sepeda motor, sehingga di musim hujan seperti ini, sering berteduh. Hingga, bisa mendengar ungkapan dan ucapan baik orang-orang yang tentu saja pengetahuannya baik. Termasuk ketika saya berteduh di sebuah ruko. Seorang satpam dengan pakaian biru-biru, tersenyum ramah. Menyapa santun tanpa mengurangi rasa gagah. Sambil iseng saya baca bordiran nama yang menempel di baju.

… Reso Lusiono …

Ups! Bahkan di sebuah teras ruko, saya menemukan orang yang sepanjang hidupnya melekat semangat perubahan. Resolusi menyatu dalam dirinya. Sungguh bukan kebetulan yang Tuhan berikan tanpa makna kepada saya. Dan menunggu hujan reda, saya berbincang banyak dengan Reso Lusiono, tentang apa saja, dari ruko yang banyak tikus, jalanan yang tergenang meski hujan sebentar, hingga perubahan kampungnya yang kini menjadi kota dan tidak memberikan apa-apa padanya, kecuali keberuntungannya dijadikan satpam, banyak lagi, termasuk resolusinya Reso Lusiono.

0 komentar:

Post a Comment