7:03 PM

Menanti Kejujuran

Kejujuran adalah perilaku, bukan teori, sehingga mudah sekali melihatnya. Ketika kita tidak jujur, mudah sekali orang lain menangkapnya. Nyambung terus dengan sinyalnya yang jernih, seperti iklan sebuah provider seluler. Maka jangan pernah berpikir untuk bertindak tidak jujur, menutupinya dengan kamuflase apa pun, karena ketidakjujuran adalah bagian penting dari kebusukan.

Hidup yang terlalu pendek, sayang betul kalau harus diciderai dengan perihal semacam itu. Tidaklah akan kekal, pencapaian yang diraih dengan tindakan yang berbau kriminal semacam itu. Andai saja ketidakjujuran berimbas fisik, seperti penyakit gula, alangkah mengerikannya. Sang pelaku, sedang membusukan dirinya sendiri, entah dari mana mulanya. Bisa dari jempol kaki, jari jemari tangan, atau rambut yang menjadi pesona rontok perlahan dan tidak tumbuh lagi.

Bila itu terjadi, maka apa yang menyelamatkannya? Amputasi!

Kemudian, jadilah kita manusia cacat. Tak sempurna lagi…

Sementara Tuhan mencipta manusia dengan sangat sempurna. Dan pelaku ketidakjujuran telah membusukkan dirinya, melawan kesempurnaan yang Tuhan berikan padanya. Saya tidak tahu, model manusia apa yang semacam ini.

Saya jadi teringat sebuah perbincangan kecil, dengan orang kecil, dalam sebuah bilik kecil. Sungguh, ini manusia model yang langka pada zaman ini. Tidak terlalu pintar, tapi cukup ilmu. Tidak terlalu banyak bicara, tapi sublim ilmu dan perilaku dalam pribadi yang rendah hati. Tawadhu.

“Orang bodo kayak saya… opo ya pantes Mas!”

Ini kata kunci yang saya tafakuri. Tidak pernah orang pinter akan mengaku-aku dirinya pintar. Dia akan menurunkan dirinya di hadapan manusia, karena dia tahu, Allah sudah dengan sendirinya mengangkat derajatnya sebagai orang yang berilmu. Kedudukannya pasti lebih mulia dari yang lain. Jadi kalau hari ini saya berjumpa dengan orang yang melabeli dirinya dengan kata-kata yang menabalkan dirinya sebagai orang yang lebih dari orang lain, apakah dia orang yang berilmu? Saya harus minta persetujuan penilaian ini pada orang lain.

…opo yo pantes, Mas!... ini juga kata kunci.

Saya memaknai seperti ini, terserah orang lain. Orang yang memiliki ilmu cukup, dia cukup tahu diri, bisa mengukur kapasitas dirinya, dan sekali lagi dia punya orientasi kepantasan di luar ukuran pantas manusia. Karena ada terusan jawabannya sesudah itu, ”Lah, wong cuman manusia Mas, esuk dele sore tempe…” –halah, cuma manusia Mas, pagi bilang kedelai sore dia bilang tempe. Artinya, nilai kepantasan di mata manusia relatif. Karena bisa berubah karena waktu. Mungkin kalau lagi seneng ya… semua baik, bagus, nggak ada yang ngalahin. Tapi kalau mood-nya lagi buruk, semua yang baik, bagus, membalik makna.

Ilmu di mana pun berada, pasti mencerahkan. Bukan sebaliknya, “menggerahkan” bikin panas, bikin kisruh, bikin masalah. Kalau sampai ada masalah, pasti bukan ilmu yang salah, tapi pemiliknya. Dia tak jujur pada ilmu itu… walau ia mengjangkaunya hingga ujung langit. Ilmu dipakai untuk akal-akalan. Mengakali kesempatan, mengakali kedudukan, mengakali jabatan, mengakali kekuasaan, mengakali kepentingan, dan mengakali hal-hal lain yang menguntungkan dirinya sendiri.

Sekali lagi, kejujuran adalah perilaku…

Semoga pilihannya adalah jujur, bukan amputasi…

0 komentar:

Post a Comment