6:53 PM

Kearifan dari Kampung Kacrut (14)

Segitu Dia Punya, Ya Segitu Dia Bisa...

Erte juga manusia, punya rasa punya hati...

Sering kali memang kita terjebak dalam cara pandang sempit, sepihak, dan satu arah. Malas sekali untuk sekadar geser, pindah tempat duduk, atau naik ke tempat yang lebih tinggi agar bisa memiliki pandangan yang berbeda dan lebih luas. Itulah sebabnya kenapa sepeda motor dikasih spion, demikian juga dengan mobil. Bahkan dikasih spion tengah, biar bisa lihat belakang tanpa harus nengok...

Hehe, tentu saja selain mobil boks sama truk tronton kali ya...

Soal naik ke tempat yang lebih tinggi, itu kiasannya Erte Mbambung tentang pentingnya belajar, membaca apa saja, baik kauniyah maupun qauliyah-Nya, begitu ia mengutip omongan Ustadz Jabbar waktu ngopi di saungnya.

”Jangan salahkan anaknya kalau malas membaca, wong biangnya nggak pernah nyontohi sama sekali...” erte kacrut itu tampak kesal bila ada yang mengeluh anaknya malas sekali membaca. Nilai ulangannya jelek. Salahlah kurikulum yang disusun oleh para profesor dan doktor itu. Katanya terlalu berat, tidak seperti jaman dia sekolah, ketinggian.

”Kalau pelajarannya sama kayak jaman bapak emaknya sekolah, di mana majunya pendidikan kita?”

Dul Kenyut bingung, ini pertanyaan, pernyataan, atau sinisme erte kacrut. Lagi pula, kenapa orang lagi sakit gigi diajak diskusi soal pendidikan, soal minat belajar, soal kegemaran membaca, soal ilmu pengetahuan dan filosofinya. Pak Mat benar-benar nggak tahu waktu dan situasi.

Sebagai orang dekatnya, Dul Kenyut bisa merasai kalau ertenya lagi agak sensi. Tapi begitulah dia, tugas dan kedudukannya sebagai pelayan masyarakat, dia malah menyebut sebagai tempat sampahnya masyarakat, ya mau nggak mau, dalam keadaan apa pun keluhan dan apa yang jadi beban masyarakatnya harus dia dengarkan. Termasuk ocehan dan keluhanya Pak Mat yang sampai jam setengah satu malam belum ketahuan endingnya kapan.

Sudah dua hari ini Erte Mbambung sakit gigi. Nggak ngeluh sih, cuma dirasai sendiri. Tapi nggak tega juga ngeliatnya. Semua orang pasti pernah lah ngrasain indahnya sakit gigi. Hanya Mak Eroh seorang saja yang tanggap, dia tanakkan nasi secara khusus. Agak lembek dan dicarikan beras super yang empuk.

”Kalau makan bubur kan kesannya sakit beneran...” ujar erte kacrut setengah nyengenges. Setengahnya lagi merintih lirih alias mengaduh tanpa gaduh.

Inilah bedanya sakitnya erte jagoan sama warganya. Kalau orang lain ngeluh ke mana-mana dan ke siapa aja perihal susah dan sakitnya. Erte Mbambung justru diam saja. Dia hanya ingin membagi kesenangan dan kebahagiaan saja. Nggak mau nambahi beban orang lain dengan keluh kesahnya. Soal talang bocor, ember hilang, sandal ketuker, masuk angin akut sampai susah sekali kentut... erte kacrut nggak ada beritanya.

Sejauh ini, hanya kabar gembira, kegembiraan dan ajakan makan yang sering keluar dari mulutnya. Dul Kenyut heran, tuh erte curhatnya sama siapa ya?

”Semua sakit ada obatnya, semua obat ada penyakitnya...” canda erte kacrut soal sakitnya. ”Sakit itu nggak bakal betah sama gue, Dul...” Dul Kenyut ngakak, ya iyalah, orang miskin di negara kaya ini dilarang sakit! Politis banget pernyataannya ya, kayak judul buku, Orang Miskin Dilarang Sakit.

Kok ya herannya, tuh Pak Mat betah bener namu ke Erte Mbambung. Sampai isi termos gambar kembang mawar warna jingga melompong, kering kerontang nggak setetes pun ngalir, walau dalam posisi yang sudah sangat jungkir balik. Hanya untuk nambahi isi gelas kopinya yang warnanya turut memudar, nggak hitam pekat lagi, tapi terang bulang, kecokelat-cokelatan.

”Bang Mat, boleh ceritanya buat besok lagi? Jangan diabisin sekarang, besok cerita apa?” goda erte kacrut mengusir halus sebenernya.

”Cerita saya banyak Pak Erte, tiga kali puasa, tiga kali lebaran nggak abis...”

”Kayak Bang Thoyib aja, lu...” erte kacrut pura-pura nguap, sekalian bertahak dan langsung aja kentut. Sekalian sepaket...

Pak Mat tetap saja nyerocos. Nggak peduli udara di sekitarnya sudah polusinya bukan main. Kalau diukur tingkat polusinya mungkin ngalahin Sudirman-Thamrin di hari kerja. Apa boleh buat, ini masalah sensitivitas rasa. Saling menenggang. Erte juga manusia, tapi ada masanya untuk asyik sama dirinya sendiri. Rasanya sih, sepanjang hari ini, tuh erte sampai belum sempat mandi. Habis tamunya nggak kunjung putus!

Akhirul kalam, erte kacrut benar-benar tepar! Mata terkatup setelah agak lama berkunang-kunang. Pusing akibat serangan cenut-cenut giginya bikin kupingnya malas mendengar! Entah apa yang sebenarnya terjadi, ketiduran atau pingsan...

Dan tanpa pamitan, Pak Mat menyelinap, mengendap-endap, pulang diam-diam... Sungguh orang tua yang nggak sopan!

0 komentar:

Post a Comment