7:01 PM

Jangan Bilang-bilang...

Sulit saya katakan…

Dalam hari-hari yang berat, saya yang harus terus menerus berhadapan dengan detak detik waktu yang mengusung palu seminggu lalu. Pertemuan itu, membuat waktu meluruh. Seperti memberi napas baru… Bak menyibak lautan seperti Nabi Musa, menyingkat langkah dari deru menderu yang terus mengejar. Memberi jeda, menyeka butir peluh.

Serileks apa pun menyikapinya. Tubuh punya 360 ruas yang bisa ngilu, bisa pegal, dan bisa ‘unjuk rasa’. Menuntut keadilan atas hak istirahnya. Sungguh, ini warning! Peringatan, bahwa betapa berlaku adil itu sulit. Tidak mudah, tak gampang. Terlalu banyak duduk, jelas tidak adil terhadap ruas tulang lutut, ruas jari jemari, kaki dan tangan. Saya telah berlaku tidak adil pada ruang pinggul, pinggang, dan tulang punggung.

“Lepaskan sedekahnya, Mas…” istriku mengingatkan. Konon, dari pengetahuan saya yang sedikit ini, shalat dhuha berlaku pula sebagai sedekah atas ruas-ruas tulang itu.

Saya bukan suami yang ‘saleh’. Menurut saya sendiri. Karena saya merasa banyak sekali kewajiban ‘suami’ yang tidak dipenuhi. Ibadah saya kelas III, hanya menjalankan yang wajib-wajib saja. Itu pun kadang tersengal, tergopoh karena harus mengejar waktu yang tinggal sedikit. Tentu jadi tidak khusyu, walau tidak boleh meninggalkan tuma’ninah-nya. Meski sepekan sekali, setidaknya, sedekah itu sudah ditunaikan.

Kesannya hanya menggugurkan kewajiban…

Namun demikianlah, saya bilang sekali lagi, saya bukan orang yang saleh. Buktinya, saya keteteran dengan peran-peran yang menempel. Sebagai suami, sebagai kepala keluarga, sebagai anak, sebagai tetangga, sebagai teman, sebagai karyawan, dan sebagai, sebagai lainnya. Apa jawaban terbaik saya pada Tuhan ketika nanti hal itu ditanyakan?

Kesalehan itu dekat dengan teladan kebaikan. Dan saya nyaris tak menemukan keteladanan apa pun dalam diri saya. Ya, dalam peran-peran itu. Saya hanya bisa memberikan tawa, tatkala kebutuhan rumah tangga sedemikan rumitnya. Apakah itu suami yang baik? Sebagai teman, saya buruk sekali perilakunya, sehingga ada yang bilang ‘cukup kenal aja’. Sebagai apa pun, saya kira saya masih jauh dari perilaku saleh.

Kalau pinjam makna dari KBBI, saleh adalah ketaataan beribadah kepada Tuhan. Maksud saya, orang yang saleh, semua perilakunya didasarkan atas nama peribadatan kepada Tuhan. Niat awalnya, nawaitunya, bismilahnya… Orang yang saleh, bicaranya bersandar pada penting dan perlunya. Bukan atas nama pribadinya… karena pribadi itu menjadi kecil sekali, dan tidak penting sama sekali…

Maka, kepada teman-teman saya yang sering bertemu di hari Minggu. Entah di TIM atau di taman-taman lain. Sebenarnya, diam-diam saya sedang ‘terus’ belajar tentang kesalehan pada kalian… Percayalah. Dan itu yang membuat saya merasa memiliki kegairahan untuk terus bertemu teman-teman. Karena, dalam keragaman itu, saya melihat, betapa kesalehan bisa beragam pula ujudnya.

Jangan dikira, kultum di akhir pertemuan itu hanya seremoni. Sungguh, saya merasa itulah bekal perenungan dan tafakur. Ujungnya terus saya runcingi, agar semakin tajam tertulis di sanubari. Bahwa, untuk menjadi orang saleh… perlu banyak teman yang saleh juga. Terima kasih teman…

0 komentar:

Post a Comment